Rabu, 08 Juli 2015

PPDB ...oh...PPDB....


PPDB atau singkatan Penerimaan Peserta Didik Baru, kali ini sangat menguras fisik dan spirit. Anakku yang tahun ini memasuki tahun ke 3 di SMP harus berebut SMA Negeri di kotaku Bogor. Di Bogor sangat jarang SMA swasta yang bagus, seandainya ada pun, sangat mencekik leher biayanya dibanding penghasilanku yang minim.
Swasta yang murah ada sih…tapi ya itu..bisa dibilang tidak kondusif suasananya.  Dilihat sepintas pun, udah kelihat kwalitas murid-muridnya, ngerokok lah, tawuran lah, nongkrong jam pelajaran lah….
Bisa dikatakan mindset bahwa SMA Swasta di kota bogor (kecuali swasta elit mis : RP, Kesatuan, dll) memang tempat buangan…hukk..kasar….tapi itulah kenyataan yang ada.





Setelah melalui perjuangan yang panjang, Try Out demi try out, belajar keras akhirnya anakku mendapat  NEM yang memadai sehingga bisa menembus SMA Negeri yang cukup baik di Bogor.  Walau hati senang dan bersyukur, tetap rasa sedih itu masih ada karena beberapa teman anakku yang sebenarnya cukup layak dan pandai akhirnya berakhir di SMA Buangan itu…oops kasar lagi….
Kenapa? Nah ini, yang aku bilang menguras fisik dan spirit. Karena persaingan ini dilangsungkan secara tidak sepenuhnya fair.  Tidak fairnya dimana? Sudah jadi rahasia umum dan tidak akan saya ulas di tulisan ini. Baunya ada seperti bangkai, tapi kalau untuk menunjukkan bukti bangkainya sangat sulit. Terus terang saya bosen dengan ungkapan “Silakan buktikan kepada kami akan kami tindaklanjuti..bla..bla..” khas birokrat.

OK, lupakan tentang ketidakfairan tsb, krn bukan hal itu yang penting di tulisan ini.  Tapi mungkin ini sedikit saran dan tips untuk mensiasati kondisi yang kurang ideal tersebut. 
   
  •             Siswa harus punya jiwa tahan banting : seorang siswa yang jujur, tidak cari bocoran, nyontek dsj sering mengalami kondisi malah dihina, diejek karena bertindak jujur. Yang miris guru2 ternyata terlibat dalam hal ini. Ingatkan bahwa belajar adalah ibadah, ibadah harus dilakukan dengan niat yang lurus lillahi taala. Yakinkan bahwa kalau di dunia kita direndahkan, Allah yang akan meninggikan di hari akhir kelak. Sangat sulit, karena anak usia segitu masih orientasinya dunia. Tapi yakinlah bisa, Insya Allah.

  •       Team support (ayah, ibu, kakak) laksana team support di balap formula 1. Tugasnya memberi strategi, mengganti ban cadangan, menyiapkan mesin sebelum balapan, mengganti suku cadang yang rusak selama balap. Dan bahkan member dukungan moral bila dalam satu sesi balapan belum berhasil. Karena, saya miris, dalam kenyataan hidup : ada siswa yang ayahnya hanya bias marah-marah, menuntut berprestasi tanpa mau cawe-cawe dan peduli dengan anaknya.

3
  •       VISI sang LUAS: Maksudnya mempunyai gambaran yang luas tentang arti sukses. Sukses bukan hanya diterima di sekolah negeri, sukses bukan hanya NEM yang tinggi. Bila ada tembok menghalangi langkah kita, mungkin kita harus sedikit berputar tapi toh ujungnya kita  ke sana. Mungkin kita sedikit terpuruk, tapi bangkit untuk berlari lagi. Berfokus pada hal-hal yang BISA KITA RUBAH. Hal hal yang di luar kuasa kita, jangan habiskan untuk mengutuk dan mencela mereka, lebih baik peras otak untuk atur strategi.


Demikian sedikit share kami, tanpa ada niat menggurui sedikit pun. Kami sendiri masih merasa jauh dari layak sebagai sebuah team. Intinya adalah mempersiapkan segalanya dengan sungguh-sungguh dan jujur, sehingga bila harus gagal, gagalah dengan kepala yang tegak.


Wassalam.
Jakarta July 2015