Saya mengenal beliau sekedar hubungan antara menantu dan
mertua. Saya pribadi tidak terlalu suka
hormat kepada orang tua hanya karena usia, saya hanya hormat kepada orang yang
layak untuk dihormati karena mereka memang orang terhormat, bukan karena usia.
Banyak hal hal dari beliau yang tidak saya sepakati, mungkin
juga sebaliknya. Ada prinsip hidup yang bertentangan, walau tidak banyak. Dan
dengan lantang saya akan memprotes kepada beliau, tanpa rasa sungkan.
Dan disinilah rasa hormat saya timbul. Sungguh. Kadang beda
pendapat cukup panas dan keras. Tapi dalam beberapa hari jangan kaget kalau
kita bisa ketawa-ketawa saling bercanda. Dan tidak ada perlakuan yang berbeda, dendam
atau rasa kesal. Padahal saya tahu beliau sebagai orang jawa biasa dihormati
sebagai orang tua. Punya mantu saya bukan
hal mudah, apalagi memang saya tidak terlalu menggunakan prinsip unggah ungguh
walau terhadap orang tua.
Beliau sering mengatakan kepada saya, “Untung aku tahu
sifatmu lho Yu…” . Kalau aku mengingat kata kata itu menitik air mata . Karena
bagi orang sulit dan keras kepala sepertiku, mendapatkan orang yang mau
mengerti kekuranganku bukanlah hal mudah.
Aku mengingat ketika anakku Krisna berusia 6 tahun dan sudah
waktunya masuk SD. Kita berbeda pendapat dengan cukup tajam tentang SD yang
harus dimasuki Krisna. Beliau bersikeras bahwa Krisna harus mendapat pendidikan
terbaik yaitu sekolah ******** yaitu swasta yang baik tapi sangat mahal.
Bahkan beliau mengatakan bersedia membantu biaya masuk yang cukup tinggi. Tapi
kami, aku dan Liza bersikeras bahwa harus masuk SD negeri, yang biayanya murah. Karena kami bukanlah keluarga yang berlebih,
sehingga perlu mendidik anak untuk menerima kenyataan hidup. Memang sekolah di
negeri pasti banyak kekurangan, tapi menurut kami justru dari kekurangan
tersebut itulah kita belajar tentang kehidupan.
Beliau tetap bersikeras, demikian juga dengan kami. Akhirnya , mungkin dengan perasaan kesal,
beliau menutup telpon dan mengakhiri pembicaraan dengan kami.
Apakah beliau marah? Bagi yang belum mengenal beliau pasti
akan berpendapat demikian. Tidak, justru akhirnya beliau bersama Eyang Tie,
malah menyempatkan diri kerumah kami di bogor. Menungguin krisna yang waktu itu sudah
bersekolah di SD Negeri. Memastikan bahwa cucunya aman dan bergembira
bersekolah di sana. Ikut tertawa dan berusaha maklum dengan segala “kendesoan” anak anak yang disana, namanya juga sekolah
negeri. Dan berusaha memahami dan mengerti keinginan orang tuanya, yaitu kami. Memang
perselisihan pendapat ini sebetulnya karena sama-sama sayang terhadap krisna
tapi dengan pemahaman dan cara yang berbeda.
Demikianlah beliau, sangat sayang kepada cucu cucunya. Sangat berusaha paham pemikiran anak-anaknya
yang mungkin belum tentu beliau setuju.
Selalu ingat jadwal ujian anak kami, dan mendoakan. Saya tahu beliau bukan
orang yang suka ditentang, dan cenderung untuk dominan dalam mengambil keputusan.
Tapi karena besarnya jiwa welas asih (dayadhvam) dan sayang kepada anak cucunya, semua itu diabaikan
demi kebaikan dan kebahagian anak
cucunya. .
Maafkan kami Eyang kung, mungkin selama ini kami sering
mengabaikan engkau.
Hormat dari hati yang paling dalam dari mantumu. Engkau aku hormati, baik ketika bersama kami maupun
ketika engkau di alam barzah.
Selamat menempuh
kehidupan yang damai, lapang tanpa sakit dan duka cita, Eyang kung…..
Jakarta, 10 April 2017